Dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, mutu pendidikan di Indonesia masih rendah, seperti dilaporkan Human Development Index (HDI). Laporan HDI tahun 2003 menunjukkan, Indonesia pada urutan ke-112 (0,682) dari 175 negara. Posisi ini jauh di bawah Singapura yang ada di posisi ke-28 [0,888), Brunei Darussalam ke-31 (0,872), Malaysia ke-58 (0,790), Thailand ke-74 (0,768), dan Filipina ke-85 (0,751). Meski laporan HDI bukan hanya mengukur status pendidikan (tetapi juga ekonomi dan kesehatan), namun ia merupakan dokumen rujukan yang valid guna melihat tingkat kemajuan pembangunan pendidikan di suatu negara.

Isu mutu pendidikan terkait (i) kualitas guru dan tenaga kependidikan (kepala sekolah, pengawas, penilik), (ii) kurikulum pengajaran, (iii) metode pembelajaran, (iv) bahan ajar, (v) alat bantu pembelajaran, dan (vi) manajemen sekolah. Keenam elemen ini saling berkait dalam upaya meningkatkan kualitas belajar-mengajar, yang berpuncak pada peningkatan mutu pendidikan. Namun, guru tetap merupakan faktor determinan dalam menentukan tinggi-rendahnya mutu pendidikan. .
Pemerataan akses.
Pemerataan pendidikan merupakan isu paling kritis karena berkait erat dengan isu sensitif, yakni keadilan dalam memperoleh akses pendidikan. Memperoleh pendidikan yang layak merupakan hak asasi setiap warga bangsa yang dijamin konstitusi. Maka, pemerintah wajib memberi pelayanan pendidikan yang baik kepada seluruh masyarakat. Keberhasilan pelayanan pendidikan dapat dilihat dari angka partisipasi.
Menurut data Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 2003, angka partisipasi murni (APM) pada jenjang SD, SMP, dan SMA berturut-turut adalah 92,6 persen, 63,5 persen, dan 40,6 persen. Meski APM pada jenjang SD sudah cukup tinggi, pada jenjang lanjutan (SMP dan SMA) angka yang dicapai masih rendah. Bila angka-angka itu dielaborasi berdasar kategori desa-kota, status sosial-ekonomi (kaya-miskin), dan provinsi (Jawa-luar Jawa), akan ditemukan fakta disparitas yang amat mencolok. Sebagai contoh, APM pada jenjang SLTP dan SLTA di perkotaan, masing-masing mencapai 71,9 persen dan 56,1 persen; sementara di pedesaan baru mencapai 54,1 persen dan 28,7 persen.
Juga ada perbedaan amat signifikan APM SLTP pada kelompok masyarakat kaya dan miskin, masing-masing 72,3 persen dan 49,9 persen. Fakta disparitas ini juga dijumpai di provinsi-provinsi Jawa-luar Jawa. APM SLTP di DI Yogyakarta 78 persen, sementara di Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, Bangka-Belitung, Papua, dan Gorontalo kurang dari 50 persen. Bahkan di NTT masih di bawah 40 persen. Kenyataan disparitas itulah bisa menjadi justifikasi guna melakukan ekspansi program pendidikan secara lebih merata.

Efisiensi anggaran

Rendahnya alokasi anggaran pendidikan selalu mengemuka dalam perdebatan publik. Banyak pihak menuntut agar alokasi anggaran pendidikan dinaikkan guna mencapai tujuan (1) meningkatkan mutu dan (2) memperluas akses (pemerataan). Pemerintah telah memberi komitmen untuk meningkatkan anggaran pendidikan secara bertahap agar mencapai 20 persen dari APBN.
Namun, kenaikan anggaran tidak akan berarti bila tidak disertai upaya efisiensi. Isu efisiensi menyangkut cara memanfaatkan dana yang ada untuk membiayai berbagai program dan jenis kegiatan dalam penyelenggaraan pendidikan. Kita harus mampu membuat skala prioritas dan menentukan program utama agar sasaran yang telah ditetapkan bisa tercapai. Maka, disiplin dalam penggunaan anggaran menjadi amat penting guna menghindari penyaluran dana yang tidak sesuai peruntukannya. Hanya dengan disiplin anggaran yang dilakukan secara ketat, misalokasi dapat dicegah.
Memahami efisiensi anggaran harus diletakkan dalam konteks organisasi penyelenggara pendidikan. Struktur organisasi Departemen Pendidikan Nasional yang besar dengan jumlah personel amat banyak jelas menuntut pembiayaan yang besar pula. Untuk itu, hal penting yang patut diperhatikan adalah bagaimana beban biaya dalam mengoperasikan organisasi raksasa ini jangan sampai menyedot anggaran yang besar.

Posting Komentar Blogger

 
Top